Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

teori behavioristik oleh Edward Lee Thorndike (1874-1949)

Gambar
Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).             Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan un

teori belajar behavioristik

Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon). Teori Behavioristik: Mementingkan faktor lingkungan Menekankan pada faktor bagian Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif. Sifatnya mekanis Mementingkan masa lalu

tri hita karana dalam pendidikan di bali

BAB I PENDAHULUAN 1.1               Latar Belakang Global Warming atau Pemanasan Global merupakan isu yang paling sering dibahas oleh forum dunia dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Hal ini sangat krusial karena manusia di dunia mulai menyadari bahwa alam sebagai penunjang hidupnya beserta makhluk hidup lainnya kini mulai mengalami degradasi menuju kehancuran. Bahkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengeluarkan persetujuan untuk menanggulangi hal ini dengan mengenalkan pilar pendidikan yang kelima, yaitu how to live sustainably (bagaimana hidup berkelanjutan) (Dantes, 2009). Dengan adanya perubahan paradigma pendidikan di dunia, PBB berharap para generasi mendatang lebih peka terhadap isu lingkungan. Dengan melihat fenomena ini, penulis mencoba untuk berargumen tentang sebuah landasan pendidikan yang menekankan bagaimana manusia selayaknya hidup berdampingan dengan alam lingkungannya. Penulis mengajukan Tri Hita Karana sebagai sebuah landasan pendidikan. Penulis melihat bahw